Jumat, 28 Januari 2011

MAKALAH EKOLOGI LAUT TROPIS

MAKALAH EKOLOGI LAUT TROPIS

MAKALAH EKOLOGI LAUT TROPIS

MAKALAH EKOLOGI LAUT TROPIS

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Wilayah pesisir dan laut merupakan lokasi beberapa ekosistem yang unik dan saling terkait, dinamis dan produktif. Beberapa ekosistem utama di wilayah pesisir dan laut yang akan dibahas dalam makalah ini adalah estuaria. Estuaria adalah bagian dari lingkungan perairan yang merupakan percampuran antara air laut dan air tawar yang berasal dari sungai, sumber air tawar lainnya (saluran air tawar dan genangan air tawar). Lingkungan estuari merupakan peralihan antara darat dan laut yang sangat di pengaruhi oleh pasang surut, seperti halnya pantai, namun umumnya terlindung dari pengaruh gelombang laut.
Lingkungan estuary umumnya merupakan pantai tertutup atau semi terbuka ataupun terlindung oleh pulau-pulau kecil, terumbu karang dan bahkan gundukan pasir dan tanah liat. Kita mungkin sering melihat hamparan daratan yang luas pada daerah dekat muara sungai saat surut. Itu adalah salah satu dari sekian banyak tipe estuary yang ada. Tidak terlalu sulit untuk memilah atau menetukan batas lingkungan estuary dalam suatu kawasan tertentu. Hanya dengan melihat sumber air tawar yang ada di sekitar pantai dan juga dengan mengukur salinitas perairan tersebut. Karena perairan estuary mempunyai Salinitas yang lebih rendah dari lautan dan lebih tinggi dari air tawar. Kisarannya antara 5 – 25 ppm. Sebagai lingkungan perairan yang mempunyai kisaran salinitas yang cukup lebar, estuary menyimpan berjuta keunikan yang khas. Hewan-hewan yang hidup pada lingkungan perairan ini adalah hewan yang mampu beradaptasi dengan kisaran salinitas tersebut. Dan yang paling penting adalah lingkungan perairan estuary merupakan lingkungan yang sangat kaya akan nutrient yang menjadi unsure terpenting bagi pertumbuhan phytoplankton. Inilah sebenarnya kunci dari keunikan lingkungan estuary. Sebagai kawasan yang sangat kaya akan unsur hara.
Mengingat bahwa kawasan yang sangat kaya akan unsur hara (nutrient) estuary di kenal dengan sebutan daerah pembesaran (nursery ground) bagi berjuta ikan, invertebrate (Crustacean, Bivalve, Echinodermata, annelida dan masih banyak lagi kelompok infauna) maka hal ini sangat perlu dipelajari
1.2. Tujuan dan Manfaat
Tujuan pembuatan makalah ini yaitu untuk menambah ilmu pengetahuan mengenai grazing and detritus food web dalam perairan estuaria, dan hubungan-hubungannya terhadap organisme akuatik yang hidup disekitar estuaria.

II. PEMBAHASAN
2.1. Habitat Estuaria
Kolom air di estuaria merupakan habitat untuk plankton (fitoplankton dan zooplankton), neuston (organisme setingkat plankton yang hidup di lapisan permukaan air) dan nekton (organisme makro yang mampu bergerak aktif). Di dasar estuaria hidup berbagai jenis organisme baik mikro maupun makro yang disebut bentos. Setiap kelompok organisme dalam habitanya menjalankan fungsi biologis masing-masing, misalnya fitoplankton sebagai produser melakukan aktivitas produksi melalui proses fotosintesa, bakteri melakukan perombakan bahan organik (organisme mati) menjadi nutrien yang dapat dimanfaatkan oleh produser dalam proses fotosintesa. Dalam satu kelompok organisme (misalnya plankton atau bentos) maupun antar kelompok organisme (misalnya antara plankton dan bentos_ terjalin suatu hubungan tropik (makan-memakan) satu sama lain, sehingga membentuk sautu hubungan jaringan makanan.
2.2. Rantai Makanan di Estuaria

Rantai makanan adalah perpindahan energi makanan dari sumber daya tumbuhan melalui seri organisme atau melalui jenjang makan (tumbuhan-herbivora-carnivora). Pada setiap tahap pemindahan energi, 80%–90% energi potensial hilang sebagai panas, karena itu langkah-langkah dalam rantai makanan terbatas 4-5 langkah saja. Dengan perkataan lain, semakin pendek rantai makanan semakin besar pula energi yang tersedia.(Anonim,2010)
Pada ekosistem estuaria dikenal 3 (tiga ) tipe rantai makanan yang didefinisikan berdasarkan bentuk makanan atau bagaimana makanan tersebut dikonsumsi : grazing, detritus dan osmotik. Fauna diestuaria, seperti udang, kepiting, kerang, ikan, dan berbagai jenis cacing berproduksi dan saling terkait melalui suatu rantai dan jaring makanan yang kompleks (Komunitas tumbuhan yang hidup di estuari antara lain rumput rawa garam, ganggang, dan fitoplankton. Komunitas hewannya antara lain berbagai cacing, kerang, kepiting, dan ikan. Bahkan ada beberapa invertebrata laut dan ikan laut yang menjadikan estuari sebagai tempat kawin atau bermigrasi untuk menuju habitat air tawar. Estuari juga merupakan tempat mencari makan bagi vertebrata semi air, yaitu unggas air.
Ada dua tipe dasar rantai makanan:
1. Rantai makanan rerumputan (grazing food chain). Misalnya: tumbuhan-herbivora-carnivora.
2. Rantai makanan sisa (detritus food chain). Bahan mati mikroorganisme (detrivora = organisme pemakan sisa) predator.
Suatu rantai adalah suatu pola yang kompleks saling terhubung, rantai makanan di dalam suatu komunitas yang kompleks antar komunitas, selain daripada itu, suatu rantai makanan adalah suatu kelompok organismE yang melibatkan perpindahan energi dari sumber utamanya (yaitu., cahaya matahari, phytoplankton, zooplankton, larval ikan, kecil ikan, ikan besar, binatang menyusui). Jenis dan variasi rantai makanan adalah sama banyak seperti jenis/spesies di antara mereka dan tempat kediaman yang mendukung mereka. Selanjutnya, rantai makanan dianalisa didasarkan pada pemahaman bagaimana rantai makanan tersebut memperbaiki mekanisme pembentukannya. Ini dapat lebih lanjut dianalisa sebab bagaimanapun jenis tunggal boleh menduduki lebih dari satu tingkatan trophic di dalam suatu rantai makanan. (Johannessen et al, 2005)

(Sumber: Rustam, 2001)
Gambar 1. Rantai makanan di wilayah pesisir

Dalam bagian ini, diuraikan tiga bagian terbesar dalam rantai makanan yaitu: phytoplankton, zooplankton, dan infauna benthic. Sebab phytoplankton dan zooplankton adalah komponen rantai makanan utama dan penting, dimana bagian ini berisi informasi yang mendukung keberadaan organisme tersebut. Sedangkan, infauna benthic adalah proses yang melengkapi pentingnya rantai makanan di dalam ekosistem pantai berlumpur. Selanjutnya, pembahasan ini penekananya pada bagaimana mata rantai antara rantai makanan dan tempat berlindungnya (tidal flat; pantai berlumpur).(Johannessen et al, 2005)
Keruhnya perairan estuaria menyebabkan hanya tumbuhan mencuat yang dapat tumbuh mendominasi. Rendahnya produktivitas primer di kolom air, sedikitnya herbivora dan terdapatnya sejumlah besar detritus menunjukkan bahwa rantai makanan pada ekosistem estuaria merupakan rantai makanan detritus. Detritus membentuk substrat untuk pertumbuhan bakteri dan algae yang kemudian menjadi sumber makanan penting bagi organisme pemakan suspensi dan detritus. Suatu penumpukan bahan makanan yang dimanfaatkan oleh organisme estuaria merupakan produksi bersih dari detritus ini. Fauna di estuaria, seperti ikan, kepiting, kerang, dan berbagai jenis cacing berproduksi dan saling terkait melalui suatu rantai makanan yang kompleks (Bengen, 2002).
Sebagai lingkungan perairan yang mempunyai kisaran salinitas yang cukup lebar, estuary menyimpan berjuta keunikan yang khas. Hewan-hewan yang hidup pada lingkungan perairan ini adalah hewan yang mampu beradaptasi dengan kisaran salinitas tersebut. Dan yang paling penting adalah lingkungan perairan estuary merupakan lingkungan yang sangat kaya akan nutrient yang menjadi unsure terpenting bagi pertumbuhan phytoplankton. Inilah sebenarnya kunci dari keunikan lingkungan estuary. Sebagai kawasan yang sangat kaya akan unsur hara (nutrient) estuary di kenal dengan sebutan daerah pembesaran (nursery ground) bagi berjuta ikan, invertebrate (Crustacean, Bivalve, Echinodermata, annelida dan masih banyak lagi kelompok infauna). Tidak jarang ratusan jenis ikan-ikan ekonomis penting seperti siganus, baronang, sunu dan masih banyak lagi menjadikan daerah estuari sebagai daerah pemijahan dan pembesaran.
Pada kawasan-kawasan subtripic sampai daerah dingin, fungsi estuary bukan hanya sebagai daerah pembesaran bagi berjuta hewan penting, bahkan menjadi titik daerah ruaya bagi jutaan jenis burung pantai. Kawasan estuary di gunakan sebagai daerah istrahat bagi perjalanan panjang jutaan burung dalam ruayanya mencari daerah yang ideal untuk perkembanganya. Disamping itu juga di gunakan oleh sebagian besar mamalia dan hewan-hewan lainnya untuk mencari makan.
Jumlah spesies organisme yang mendiami estuaria jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan organisme yang hidup di perairan tawar dan laut. Sedikitnya jumlah spesies ini terutama disebabkan oleh fluktuasi kondisi lingkungan, sehingga hanya spesies yang memiliki kekhususan fisiologis yang mampu bertahan hidup di estuaria. Selain miskin dalam jumlah spesies fauna, estuaria juga miskin akan flora.



2.3. Peranan Ekosistem Estuaria
Produktifitas estuaria, pada kenyataannya bertumpu atas bahan-bahan organik yang terbawa masuk estuaria melalui aliran sungai atau arus pasang surut air laut. Produktifitas primernya sendiri, karena sifat-sifat dinamika estuaria sebagaimana telah diterangkan di atas dan karena kekeruhan airnya yang berlumpur, hanya dihasilkan secara terbatas oleh sedikit jenis alga, rumput laut, diatom bentik dan fitoplankton. Meski demikian, bahan-bahan organik dalam rupa detritus yang terendapkan di estuaria membentuk substrat yang penting bagi tumbuhnya alga dan bakteri, yang kemudian menjadi sumber makanan bagi tingkat-tingkat trofik di atasnya. Banyaknya bahan-bahan organik ini dibandingkan oleh Odum dan de la Cruz (1967, dalam Nybakken 1988) yang mendapatkan bahwa air drainase estuaria mengandung sampai 110 mg berat kering bahan organik per liter, sementara perairan laut terbuka hanya mengandung bahan yang sama 1-3 mg per liter. Oleh sebab itu, organisme terbanyak di estuaria adalah para pemakan detritus, yang sesungguhnya bukan menguraikan bahan organik menjadi unsur hara, melainkan kebanyakan mencerna bakteri dan jasad renik lain yang tercampur bersama detritus itu. Pada gilirannya, para pemakan detritus berupa cacing, siput dan aneka kerang akan dimakan oleh udang dan ikan, yang selanjutnya akan menjadi mangsa tingkat trofik di atasnya seperti ikan-ikan pemangsa dan burung. Melihat banyaknya jenis hewan yang sifatnya hidup sementara di estuaria, bisa disimpulkan bahwa rantai makanan dan rantai energi di estuaria cenderung bersifat terbuka. Dengan pangkal pemasukan dari serpih-serpih bahan organic yang terutama berasal dari daratan (sungai, rawa asin, hutan bakau), dan banyak yang berakhir pada ikan-ikan atau burung yang kemudian membawa pergi energi keluar dari sistem (Pendy, 2009).
2.4. Aspek Biologi Komposisi Biota dan Produktifitas Hayati.
Di estuaria terdapat tiga komonen fauna, yaitu fauna lautan, air tawar dan payau. Komponen fauna yang terbesar didominasi oleh fauna lautan, yaitu hewan stenoalin yang terbatas kemampuannya dalam mentolerir perubahan salinitas (umumnya > 30 o/oo) dan hewan euri halin yang mempunyai kemampuan mentolerir berbagai penurunan salinitas di bawah 30o/oo. Komponen air payau terdiri dari soesies organisme yang hidup di pertengahan daerah estuaria pada salinitas antara 5 – 30 o/oo. Spesies ini tidak ditemukan hidup pada perairan laut maupun tawar. Komponen air tawar biasanya biasanya terdiri dari hewan yang tidak mampu mentolerir salinitas di atas 5 o/oo dan hanya terbatas pada bagian hulu estuaria .
Jumlah organisme yang mendiami estuari jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan organisme yang hidup di perairan tawar dan laut. Sedikitnya jumlah spesies ini terutama disebabkan oleh fluktuasi kondisi lingkungan, sehingga hanya spesies yang memiliki kekhususan fisiologis yang mampu bertahan hidup di estuaria. Selain miskin dalam jumlah spesies fauna, estuaria juga miskin akan flora. Keruhnya perairan estuaria menyebabkan hanya tumbuhan mencuat yang dapat tumbuh mendominasi. Secara fisik dan biologis, estuaria merupakan ekosistem produktif yang setaraf dengan hutan hujan tropik dan terumbu karang, karena :
1. Estuaria berperan sebajai jebak zat hara yang cepat didaur ulang.
2. Beragamnya komposisi tumbuhan di estuaria baik tumbuhan makro (makrofiton) maupun tumbuhan mikro (mikrofiton), sehingga proses fotosintesis dapat berlangsung sepanjang tahun
3. Adanya fluktuasi permukaan air terutama akibat aksi pasang-surut, sehingga antara memungkinkan pengangkutan bahan makanan dan zat hara yang diperlukan berbagai organisme estuari
Secara umum estuaria mempunyai tiga (3) peranan ekologis penting sebagai berikut : Sebagai sumber zat hara dan bahan organik yang diangkut lewat sirkulasi pasang surut (tidal circulation).Penyedia habitat bagi sejumlah spesies hewan (ikan, udang) yang bergantung pada estuaria sebagai tempat perlindung dan tempat mencari makanan (feeding ground). Dan Sebagai tempat untuk berproduksi dan/atau tempat tumbuh besar (nursery ground) terutama bagi sejumlah spesies ikan dan udang.
Kombinasi pengaruh air laut dan air tawar akan menghasilkan suatu komunitas yang khas, dengan lingkungan yang bervariasi (Supriharyono, 2000), antara lain:
(1) Tempat bertemunya arus air dengan arus pasang-surut, yang berlawanan menyebabkan suatu pengaruh yang kuat pada sedimentasi, pencampuran air, dan cirri-ciri fisika lainnya, serta membawa pengaruh besar pada biotanya
(2) Pencampuran kedua macam air tersebut menghasilkan suatu sifat fisika lingkungan khusus yang tidak sama dengan sifat air sungai maupun sifat air laut;
(3) Perubahan yang terjadi akibat adanya pasang-surut mengharuskan komunitas mengadakan penyesuaian secara fisiologis dengan lingkungan sekelilingnya; dan
(4) Tingkat kadar garam di daerah estuaria tergantung pada pasang-surut air laut, banyaknya aliran air tawar dan arus-arus lainnya, serta topografi daerah estuaria tersebut.

2.5.Adaptasi Organisme
Kebanyakan organisme yang menempati daerah ini menunjukkan adaptasi dalam menggali dan melewati substrat yang lunak atau menempati saluran yang permanen dalam substrat. Dikarenakan pantai lumpur juga agak tandus, hal ini dapat dilihat dari sedikitnya organisme yang menempati permukaan daratan lumpur. Kehadiran organisme di pantai berlumpur ditunjukkan oleh adanya berbagai lubang di permukaan dengan ukuran dan bentuk yang berbeda. Jadi, salah satu adaptasi utama dari organisme di daratan lumpur adalah kemampuan untuk menggali substrat atau membentuk saluran yang permanen.
Adaptasi utama yang kedua berkaitan dengan kondisi anaerobik yang merata di seluruh substrat. Jika organisme ingin tetap hidup ketika terkubur dalam substrat, mereka harus beradaptasi untuk hidup dalam keadaan anaerobik atau harus membuat beberapa jalan yang dapat mengalirkan air dari permukaan yang mengandung banyak oksigen ke bawah. Untuk mendapatkan air dari permukaan yang kaya oksigen dan makanan maka muncul berbagai lubang dan saluran di permukaan daratan lumpur. Adaptasi yang umum terhadap rendahnya ketersediaan oksigen adalah dengan membentuk alat pengangkut (misalnya, hemoglobin) yang dapat terus-menerus mengangkut oksigen dengan konsertasi yang lebih baik dibandingkan dengan pigmen yang sama pada organisme lain. (Nybakken, 1982)
2.6 Tipe Organisme
Pantai berlumpur sering menhasilkan suatu pertumbuhan yang besar dari berbagai tumbuhan. Di atas daratan lumpur yang kosong, tumbuhan yang paling berlimpah adalah diatom, yang hidup di lapisan permukaan lumpur dan biasanya menghasilkan warna kecoklatan pada permukaan lumpur pada saat terjadi pasang-turun. Tumbuhan lain termasuk makroalga, Glacilaria, Ulva, dan Enteromorpha. Pada daerah lain, khusus pada pasut terendah hidup berbagai rumput laut, seperti Zostera.
Daratan berlumpur mengandung sejumlah besar bakteri, yang memakan sejumlah besar bahan organik. Bakteri ini merupakan satu-satunya organisme yang melimpah pada lapisan anaerobikdi pantai berlumpurdan membentuk biomassa yang berarti. Bakteri ini dinamakan Bakteri Kemosintesis atau Bakteri Sulfur, bakteri ini mendapatkan energi dari hasil oksidasi beberapa senyawa sulfur yang tereduksi, seperti berbagai sulfida (misalnya, H2S). Mereka menghasilkan bahan organik dengan menggunakan energi yang didapat dari oksidasi senyawa sulfur yang tereduksi, berbeda dengan tumbuhan yang menghasilkan bahan organik menggunakan energi matahari.
Karena bakteri ototrofik ini berlokasi di lapisan anaerobik di lumpur, maka daratan lumpur merupakan daerah yang unik di lingkungan laut, mereka mempunyai dua lapisan yang berbeda di mana produktivitas primer terjadi, daerah tempat diatom, alga, dan rumput lautmelakukan fotosintesis, dan lapisan dalam tempat bakteri melakukan kemosintesis. Mahluk dominan yang terdapat pada daratan lumpur, yaitu cacing polichaeta, moluska bivalvia, dan krustacea besar dan kecil, tetapi dengan jenis yang berbeda. (Nybakken, 1982)
2.7. Phytoplankton
Pertumbuhan phytoplankton di wilayah pantai estuaria berlumpur diatur dengan suatu interaksi antara matahari, hujan, bahan gizi, dan gerakan massa air, serta convergensi yang di akibatkan oleh arus laut. Sampai jumlah tertentu produksi phytoplankton tergantung pada cuaca, dengan pencampuran dan stratifikasi kolom air yang mengendalikan produktivitas utama. Percampuran massa air vertikal yang kuat mempunyai suatu efek negatif terhadap produktivitas, dengan mengurangi perkembangan phytoplankton maka terjadi penambahan energi itu sendiri dan penting bagi fotosintesis. Bagaimanapun, pencampuran vertikal adalah juga diuntungkan karena proses penambahan energi, yang membawa bahan gizi (nutrient) dari air menuju ke permukaan di mana mereka dapat digunakan oleh phytoplankton.
2.8. Zooplankton dan Heterotrophs Lain
Zooplankton dan heterotrophs lain (suatu tingkatan organisma trophic sekunder yang berlaku sebagai consumer utama organik) di dalam kolom air mengisi suatu relung ekologis penting sebagai mata rantai antara produksi phytoplankton utama dan produktivitas ikan. Ikan contohnya, dengan ukuran panjang antara 50 - 200 milimeter, seperti; ikan herring juvenile dan dewasa, smelt, stickleback, sand lance, dan ikan salem dewasa, minyak ikan, hake, pollock, lingcod, sablefish, dan ikan hiu kecil, memperoleh bagian terbesar gizi mereka dari zooplankton dan heterotrophs lain. Penambahan konsumen utama ini adalah mangsa utama untuk sculpins, rockfish, ikan hiu, burung, dan paus ballen. Di muara sungai Duwamish (dengan kedalaman 4), ditemukan ikan salem muda memangsa gammarid amphipods yang lebih besar dari ukuran tubuhnya. Selain itu, ikan salem juga menyukai jenis Corophium salmonis dan Eogammarus confervicolus. Sebagai tambahan, gammarid amphipods, dalam bentuk juvenille mengkonsumsi calanoid dan harpacticoid copepods. Merah muda pemuda ikan salem, pada sisi lain, lebih menyukai harpacticoids yang diikuti oleh calanoid copepods. Juvenille chinook mempercayakan kepada gammaridean amphipods dan calanoid copepods sebagai betuk diet mereka. Menunjukkan bahwa 85 sampai 92 % zooplankton di teluk adalah calanoid copepods. Secara teknis, istilah zooplankton mengacu pada format hewan plankton, yang tinggal di kolom air dan pergerakan utama semata-mata dikendalikan oleh keadaan insitu lingkungan (current movement). Bagaimanapun, yang mereka lakukan akan mempunyai kemampuan untuk berpindah tempat vertikal terhadap kolom air dan boleh juga berpindah tempat secara horisontal dari pantai ke laut lepas sepanjang yaitu musim semi dan musim panas dalam untuk mencari lokasi yang cocok untuk pertumbuhan mereka. Migrasi vertikal menciptakan sonik lapisan menyebar ketika zooplankton bergerak ke permukaan pada malam hari dan tempat yag terdalam pada siang hari. Pada daerah berlumpur dengan olakan gelombang besar, migrasi vertical zooplankton akan terhalang. Sedangkan, migrasi horisontal musiman mengakibatkan zooplankton akan mengalami blooming (pengkayaan). (http://www.iwf.or.id/ekosistem.htm)
2.9. Infauna dan Epifauna Benthic
Infauna Benthic (organisma yang tinggal di sedimen) dan epifauna (organisma yang mempertahankan hidup di sedimen) adalah suatu kumpulan taxa berbeda-beda mencakup clam, ketam, cacing, keong, udang, dan ikan. Sedangkan burrowers, adalah binatang pemakan bangkai, pemangsa, dan pemberi makan/tempat makan sejumlah phytoplankton, zooplankton, sedimen, detritus dan nutrient lainnya.
Mereka berperan penting dalam jaring makanan di pantai berlumpur, juga bertindak sebagai konvertor untuk pembuatan bahan-bahan organik pada tingkatan trophic lebih tinggi, sehingga menyokong peningkatan produktivitas alam bebas (wildlife) dan ikan. Di lain pihak, ikan-ikan demersal, neretic, dan pemangsa terestrial contohnya elasmobranchs ( ikan hiu, skates dan manta rays-pari), flatfish dan bottomdwelling jenis lainnya; shorebirds; mamalia laut, termasuk ikan paus dan berang-berang laut; dan manusia. Dengan diuraikannya secara rinci bagaimana berbagai rantai makanan terhubung ke dalam suatu jaringan makanan terpadu pada benthic community dalam system dinamika pantai berlumpur adalah penting untuk di jawab bahwa ekosistem pantai berlumpur ini berperan di dalam keseimbangan produktifitas primer perairan. Zedler (1980)
Predator asli di dataran lumpur ini mencakup beberapa cacing polychaeta seperti Glycera spp., siput bulan (Polinices, Natica) dan kepiting. Jadi, struktur trofik dataran lumpur sering terbentuk berdasarkan dua hal, yaitu : berdasarkan detritus – bakteri dan berdasarkan tumbuhan.





















III. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat kami sampaikan yaitu :

DAFTAR PUSTAKA
Anonym ,2010. http://id.wikipedia.org/wiki/rantai_makanan
Anonim, 2010. http://www.iwf.or.id/ekosistem.htm
Begen, D. G. 2002. Ekosistem danSumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip Pengelolaannya. PK-SPL. IPB, Bogor.
Johannessen, J.W., MacLennan, A., and McBride, A, 2005. Inventory and Assessment of Current and Historic Beach Feeding Sources/Erosion and Accretion Areas for the Marine Shorelines of Water Resource Inventory Areas 8 & 9, Prepared by Coastal Geologic Services, Prepared for King County Department of Natural Resources and Parks, Seattle, WA.
Nybakken. James W. 1982. Marine Biology : an ecological approach (terjemahan). PT. Gramedia, Jakarta.

Pendy, 2009. Ekosistem Estuaria.http://pendyaneh.blogspot.com/2009/08/ekosistem-estuaria.html diakses 12 juni 2010.

Rustam ,2001. Makalah Falsafah Sains (PPs 702).Program Pasca Sarjana / S3
Institut Pertanian Bogo

Zedler,J.B. 1980. Algal mat productivity: Comparisons in a salt marsh. Estuaries 3

MAKALAH PENGOLAHAN TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN (S I L A S E)

MAKALAH
PENGOLAHAN TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN

(S I L A S E)




OLEH :


KELOMPOK II







FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS HALUOLEO
KENDARI
2010


I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kebutuhan tepung ikan di Indonesia mengalami peningkatan sejalan dengan pengembangan usaha peternakan unggas dan budidaya hasil perikanan sesuai dengan informasi DirektoratJenderal Peternakan, kebutuhan tepung ikan untuk pakan unggas sebesar + 225.000 ton yang merupakan salah satu komponen pakan unggas yang diproduksi pada tahun tersebut sebesar + 4,5 juta ton (pakan unggas mengandung tepung ikan sebesar 5%).
Berdasarkan estimasi yang sering digunakan oleh para pengamat, kebutuhan tepung ikan untuk pakan ikan/udang sebesar 25% dari kebutuhan tepung ikan untuk pakan unggas. Dari estimasi tersebut maka kebutuhan tepung ikan per tahun untuk pakan udang/ikan diperkirakan 8.000 ton dan total kebutuhan tepung ikan di Indonesia sebesar + 283.000 ton per tahun. Dari kebutuhan tepung ikan yang sangat besar tersebut ternyata 5-10% baru dapat disuplai dari hasil produksi di Indonesia dan sisanya masih diimpor dari Amerika Latin, Eropa dan negara Asia termasuk Thailand.
Oleh karena itu perlu dipikirkan pengambangan pengolahan tepung ikan dan produk alternatifnya di Indonesia agar dapat membantu kesulitan peternak/petani ikan. Hal ini sangat dimungkinkan karena harga tepung ikan impor cukup mahal dan produk dalam negeri menjadi komperatif dan memungkinkan untuk menggunakan bahan baku “By catch”. Salah satu produk alternatif yang dapat dikembangkan adalah “ silase ikan” atau “tepung silase ikan” (TSI) yang dapat menggunakan bahan baku segala jenis ikan dan sisa pengolahan ikan serta teknologinya sangat sederhana.
1.2. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu untuk mengetahui tentang silase dan bahan-bahan yang terkandung di dalamnya. Dan manfaatnya agar menambah ilmu pengetahuan dan wawasan mengenai silase
II. PEMBAHASAN
Silase ikan adalah bentuk hidrolisa protein beserta komponen lain dari ikan dalam suasana asam sehingga bakteri pembusuk tidak dapat hidup karena pH berkisar 4. Oleh karena itu silase ikan merupakan produk bioteknologi berupa lumatan ikan seperti bubur dengan suasana asam dengan rantai asam amino sebagai penyusun protein menjadi lebih pendek dan bahkan sebagian menjadi asam amino. Dengan reaksi keasaman dari silase tersebut maka produk ini dapat disimpan dalam relatif lama karena bakteri pembusuk tidak dapat tumbuh.
2.1. Bahan baku
Bahan baku silase berupa ikan utuh, potongan kepala, sisa fillet maupun isi perut ikan baik yang segar maupun yang kurang segar. Untuk bahan baku yang kurang segar akan segera dihentikan reaksi pembusukan begitu proses pembuatan silase dimulai karena menurunnya pH sampai + 4 akan membunuh baktaeri pembusuk yang hanya dapat bertahan minimal pH+ 5,5. Dalam suasana asam, hanya mikroorganisme yang tahan asam tertentu yang dapat hidup (tumbuh) misalnya Bacillus tertentu yang bukan bersifat pembusuk tetapi dapat menghidrolisa protein dan lemak yang dikenal dengan fermentasi. Perbedaan bahan baku akan mempengaruhi kandungan protein silase.
a. Prosesing
Untuk membuat silase tentunya diperlukan bahan yang dapat mengubah reaksi netral dan sedikit basa pada bahan baku menjadi asam atau menurunkan pH dan sebelum dimanfaatkan untuk bahan pakan dinetralkan agar reaksinya tidak asam. Dalam prosesing silase dikenal dua cara yaitu secara biologis murni dan secara kimia.

2.2. Biologis
Prosesing silase secara biologis murni berarti tidak menggunakan bahan kimia dan disebut maetode fermentasi. Proses ini biasanya ditambahkan mikrorganisme tertentu, biasanya Bacillus tertentu dengan jumlah yang cukup dan di inkubasi pada suhu optimum bakteri tersebut (berkisar 30 oC) pada suhu kamar (tropis) dan kondisi anaerob. Waktu fermentasi biasanya akan berlangsung relatif lama lebih dari 10 hari, ditandai dengan hancurnya daging dan rapuhnya tulang sehingga bentuk akhir menjadi seperti bubur dan tidak berbau busuk.
Kendatipun tidak ditambahkan air tetapi silase akan berbentuk bubur karena bahan bakunya sendiri sudah mengandung air antara 70 –80 % dan tidak berbau karena tidak ada proses pembusukan dan yang terjadi adalah proses fermentasi.

2.3. Kimiawi
Prosesing silase secara kimiawi adalah proses pembuatan silase dengan menambahkan bahan kimia yang bersifat asam ke dalam bahan baku. Bahan kimia tersebut dapat berfungsi ganda yaitu menumbuhkan bakteri pembusuk dan mulai berfungsi sebagai pemecah rantai asam amino pada protein yang disebut hidrolisa. Dalam suasana asam maka bakteri tahan asam misalnya Bacillus yang secara alamiah taerdapat di lingkungan kita akan tumbuh berkembang dan menyebabkan fermentasi. Oleh sebab itu fungsi bahan kimia taersebut juga dapat dikatakan sebagai starter. Hal ini akan mempercepat waktu proses pembuatan silase menjadi + 7 hari.
Asam yang digunakan dapat berupa asam anorganik , misalnya asam khlorida, asam nitrat dan bahkan asam sulfat atau asam organic misalnya asam formiat, asetat dan propionat. Umumnya penggunaan asam mineral tidak disukai karena asam tersebut relatif kurang dapat diterima oleh makhluk hidup yang mengkonsumsi silase khususnya bila berlebihan
Teknologi prosesing silase dengan asam formiat sangat sederhana yaitu dengan memasukkan ikan ke dalam wadah (bak) dan bila ikan/sisa ikan terlalu besar perlu dilakukan pencincangan terlebih dahulu penambahan asam formiat saebanyak 3 % dari berat ikan dan dituang sambil diaduk agar merata. Campuran ikan dan asam formiat ditutup dan didiamkan selama 7 hari dengan dilakukan pengadukan 1-2 x sehari. Setelah 7 hari maka akan menjadi bubur ikan yang disebut silase.

2.4. Netralisasi
Sebelum digunakan dapat dilakukan netralisasi terlebih dahulu agar reaksi asam yang ada tidak merusak saluran pencernaan. Netralisasi dapat dilakukan dengan menambahkan larutan Na 2 CO3 (soda api) atau yang lain yang sesuai dengan pH berkisar 5-6. Apabila silase sudah netral maka akan menjadi busuk bila disimpan dalam kondisi basah karena bakteri pembusuk akan hidup dan tumbuh. Oleh karenanya harus segera digunakan atau dikeringkan menjadi Tepung Silase Ikan (TSI). Apabila silase dibuat dari bagian ikan yang keras (kepala/tulang dll) yang berukuran besar dan tidak rapuh maka disarankan sebelum dikeringkan dipisahkan terlebih dahulu dengan menggunakan serok. Tulang-tulang tersebut dapat dikeringkan secara terpisah.


2.5. Tepung Silase Ikan (TSI)
Untuk mempermudah penyimpanan, penggudangan dan distribusi serta proses pembuatan pakan maka silase dapat diproses menjadi tepung silase ikan (TSI). Dalam pembuatan tepung, silase yang sudah jadi dinetralkan dengan soda api sampai pH 5-6 dan ditambahkan bahan pembantu yaitu bekatul atau bahan lain yang cocok kemudian dikeringkan. Penambahan bekatul dimaksudkan agar mempermudah pengeringan karena akan memperluas permukaan disamping mengurangi kadar air. Penambahan bekatul dapat dilakukan dengan proporsi berat yang sama dengan berat ikan (bahan baku) atau sesuai yang dikehendaki.

2.6. Aplikasi Tepung Silase Ikan (TSI ).
TSI adalah salah satu output perekayasaan secara sederhana yang bertujuan untuk memanfaatkan limbah yang terdapat ditempat pendaratan ikan (TPI) agar TPI dapat lebih bersih dan tidak berbau busuk. Hal ini sebagai salah satu persyaratan TPI guna ikut memberikan jaminan mutu sejalan dengan penerapan Program manajemen Mutu Terpadu yang mengacu pada HACCP. Disamping adanya harapan agar TPI lebih bersih, sisa-sisa ikan tersebut juga dapat bermanfaat sebagai bahan baku pakan ternak misalnya babi, dll. Tetapi karena dibeberapa wilayah juga berkembang peternakan unggas, maka pemanfaatan silase tersebut diteruskan menjadi tepung silase ikan (TSI).
Dengan semakin meningkatnya kebutuhan protein ikan saaat ini maka penggunaan TSI menjadi salah satu alternatif yang tentunya sangat dipengaruhi oleh tersedianya bahan baku, kelayakan teknologi, tinjauan usaha serta manajemen pengelolaan. Disamping itu juga dipikirkan dampak manfaatnya.
2.7. Ketersediaan bahan baku.
Mengingat bahan baku TSI terdiri dari berbagai jenis, bagian, mutu ikan maka dalam penerapannya selalu berorientasi pada pemanfaatan limbah dan hasil tangkapan yang sudah menurun mutunya. Apabila kita gunakan contoh di pantai utara jawa dimana + 20 % total hasil tangkapan nasional didaratkan ( Anon 1995b dalam Sunarya, 1996), maka pada tahun 1995 telah didaratkan di TPI sepanjang pantai utara jawa sebesar 554.047 ton. Dari hasil tangkapan tersebut yang mempunyai mutu baik (konsumsi segar) adalah + 20 % dan mutu sedang (untuk pindang) 40 – 60 % dan sisanya 5 % dari total tangkapan, termasuk yang saat ini menjadi sisa-sisa pengolahan dan lain-lain dimanfaatkan sebagai bahan baku TSI maka bila produksi hasil perikanan sama dengan tahun 1995 diperoleh bahan baku TSI sebesar 27.702 ton dan akan menghasilkan 41,553 ton TSI. Perlu dicatat bahwa kepala dan isi perut ikan rata-rata sebesar 15 % dari ikan utuh. Oleh sebab itu perhitungan 5% seperti diatas dimungkinkan dan termasuk perhitungan yang relatif rendah berarti cukup sangat optimis ditinjau dari penyediaan bahan baku. Hal tersebut belum termasuk tempat-tempat pendaratan ikan lain seperti diluar jawa khususnya Sumatera.
2.8. Kelayakan teknologi.
Dengan teknologi yang sangat sederhana maka proses pembuatan TSI hanya memerlukan 7 bak perendaman (sehingga tiap hari produksi ) yang dapat berupa bak terbuat dari semen atau plastik dan alat penepung serta tempat penjemuran. Apabila pengeringan menggunakan sinar matahari maka proses pembuatan TSI akan hemar energi, hemat tenaga kerja dan tidak memerlukan tenaga kerja dengan keahlian tinggi sehingga teknologinya sangat layak dilakukan ditempat-tempat pendaratan ikan. Apabila skala produksi cukup besar dapat digunakan pengering mekanis dengan sumber energi kayu bakar, minyak tanah atau briket batubara. Untuk produksi 1 ton/hari secara rutin diperlukan lebih kurang dua tenaga kerja.
Karena teknologinya sangat sederhana maka dapat dilakukan oleh siapa saja, dimana saja baik dengan skala kecil, home industri, medium maupun besar. Dalam proses tersebut juga sangat sedikit menggunakan komponen impor yaitu hanya alat penepung sedangkan bahan kimia asam format ataupun soda api sudah diproduksi di Indonesia.

III. KESIMPULAN
Kesimpulan yang dapat diperoleh yaitu :
1. Silase ikan adalah bentuk hidrolisa protein beserta komponen lain dari ikan dalam suasana asam sehingga bakteri pembusuk tidak dapat hidup karena pH berkisar 4.
2. Untuk membuat silase tentunya diperlukan bahan yang dapat mengubah reaksi netral dan sedikit basa pada bahan baku menjadi asam atau menurunkan pH dan sebelum dimanfaatkan untuk bahan pakan dinetralkan agar reaksinya tidak asam. Dalam prosesing silase dikenal dua cara yaitu secara biologis murni dan secara kimia.



DAFTAR PUSTAKA

Anon (1993) Statistik Impor Hasil Perikanan 1993, Ditjen Perikanan Jakarta.
Anon Tepung Silase sebagai alternatif pakan ternak, Bahan Rapim Deptan, BBPMHP Jakarta.
Djazuli N, D Budiyanto, dkk (1998), Perekayasaan teknologi Pengolahan Limbah, BBPMHP Jakarta.
Kanazawa. A(1993) Importance of DHA in organism. Proceeding of the First Indonesian Fishery Symposium, Center for Fishery Research and Development, Jakarta.
Sunarya (1996), masalah Perikanan Pelagis Kecil di Pantai Utara Jawa dan Upaya Pemecahannya, sumbangan pemikiran untuk Ditjen Perikanan, BBPMHP, Jakarta.
Sunarya dan Nazory D (1998) Pengembangan Tepung Ikan di Indonesia, Kajian ilmiah sebagai bahan pertimbangan Ditjen Perikanan, BBPMHP, Jakarta.

MAKALAH ( Penelitian Korelasional )

MAKALAH
( Penelitian Korelasional )


OLEH :







MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS
KENDARI
2010

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk yang sering disebut sebagai animal rational yang dibekali hasrat ingin tahu. Dorongan rasa ingin tahu tersebut membawa manusia selalu berusaha mendapatkan pengetahuan yang sedang dipermasalahkan atau yang sedang dipertanyakan. Hasrat ingin tahu manusia terpuaskan apabila dia memperoleh pengetahuan mengenai hal yang dipertanyakannya. Adapun pengetahuan yang diinginkannya adalah pengetahuan yang benar. Pengetahuan yang benar atau kebenaran memang secara inherent dapat dicapai manusia, baik melalui pendekatan non ilmiah maupun pendekatan ilmiah (Suryabrata, 2005). Melalui pendekatan ilmiah orang akan berusaha untuk memperoleh kebenaran ilmiah.
Pengetahuan yang diperoleh dengan pendekatan ilmiah inilah yang didapat melalui penelitian ilmiah. Dalam melakukan penelitian orang dapat menggunakan berbagai macam metode dan sajian dengan rancangan penelitian juga digunakan bermacam-macam, misalnya metode penelitian korelasi (correlational research) adalah suatu penelitian yang melibatkan tindakan pengumpulan data guna menentukan apakah ada hubungan dan tingkat hubungan antara dua variabel atau lebih (Sukardi, 2003). Penelitian ini sifatnya expose-facto yaitu mengungkapkan fakta yang sudah terjadi di mana penyebabnya tidak bisa diinterfensi. Adanya hubungan dan tingkat variabel sangat penting, karena dengan mengetahui tingkat hubungan yang ada, peneliti akan dapat mengembangkannya sesuai dengan tujuan penelitian. Tujuan dari penelitian korelasional adalah untuk mendeteksi sejauh mana variasi variasi pada suatu faktor berkaitan dengan variasi-variasi pada satu atau lebih faktor lain berdasarkan pada koefisien korelasi (Suryabratha, 2003).
Penelitian korenasional memiliki kelemahan dan kelebihan yang perlu diketahui oleh peneliti, sehingga dengan adanya hal-hal ini maka penulis dapat meyusun makalah ini agar dapat lebih mengetahui metode penilitian korelasional, kelemahan, kelebihan dan tujuan penilitian ini.

B. Tujuan dan Manfaat
Tujuan dari pembuatan makalah ini yaitu untuk mengetahui bagaimakah prinsip penelitian korelasional ini ?. Sedangkan manfaat yang diperoleh dari pembuatan makalah ini yaitu dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan mengenai prinsip dan metode penelitian korelasinal.



BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Penelitian Korelasional
Penelitian korelasi adalah suatu penelitian yang melibatkan tindakan pengumpulan data guna menentukan, apakah ada hubungan dan tingkat hubungan antara dua variabel atau lebih. Adanya hubungan dan tingkat variabel ini penting, karena dengan mengetahui tingkat hubungan yang ada, peneliti akan dapat mengembangkannya sesuai dengan tujuan penelitian.
Menurut Gay dalam Sukardi (2008:166) menyatakan bahwa; penelitian korelasi merupakan salah satu bagian penelitian ex-postfacto karena biasanya peneliti tidak memanipulasi keadaan variabel yang ada dan langsung mencari keberadaan hubungan dan tingkat hubungan variabel yang direfleksikan dalam koefisien korelasi. Walaupun demikian ada peneliti lain seperti di antaranya Nazir dalam Sukardi (2008:166); mengelompokkan penelitian korelasi ke dalam penelitian deskripsi, karena penelitian tersebut juga berusaha menggambarkan kondisi yang sudah terjadi. Dalam penelitian ini, peneliti berusaha menggambarkan kondisi sekarang dalam konteks kuantitatif yang direfleksikan dalam variabel.
Penelitian korelasi mempunyai tiga karakteristik penting untuk para peneliti yang hendak menggunakannya. Tiga karakteristik tersebut, adalah:

1. Penelitian korelasi tepat jika variabel kompleks dan peneliti tidak mungkin melakukan manipulasi dan mengontrol variabel seperti dalam penelitian eksperimen.
2. Memungkinkan variabel diukur secara intensif dalam setting (lingkungan) nyata.
3. Memungkinkan peneliti mendapatkan derajat asosiasi yang signifikan.

B. Tujuan Penelitian Korelasional
Tujuan penelitian korelasional menurut Suryabrata (1994:24) adalah untuk mendeteksi sejauh mana variasi-variasi pada suatu faktor berkaitan dengan variasi-variasi pada satu atau lebih faktor lain berdasarkan pada koefisien korelasi. Sedangkan menurut Gay dalam Emzir (2007:38); Tujuan penelitian korelasional adalah untuk menentukan hubungan antara variabel, atau untuk menggunakan hubungan tersebut untuk membuat prediksi.
Studi hubungan biasanya menyelidiki sejumlah variabel yang dipercaya berhubungan dengan suatu variabel mayor, seperti hasil belajar variabel yang ternyata tidak mempunyai hubungan yang tinggi dieliminasi dari perhatian selanjutnya.




C. Ciri-ciri Penelitian Korelasional
1. Penelitian macam ini cocok dilakukan bila variabel-variabel yang diteliti rumit dan/atau tak dapat diteliti dengan metode eksperimental atau tak dapat dimanipulasi.
2. Studi macam ini memungkinkan pengukuran beberapa variabel dan saling hubungannya secara serentak dalam keadaan realistiknya.
3. Output dari penelitian ini adalah taraf atau tinggi-rendahnya saling hubungan dan bukan ada atau tidak adanya saling hubungan tersebut.
4. Dapat digunakan untuk meramalkan variabel tertentu berdasarkan variabel bebas.
5. Penelitian korelasional, mengandung kelemahan-kelemahan, antara lain: Hasilnya cuma mengidentifikasi apa sejalan dengan apa, tidak mesti menunjukkan saling hubungan yang bersifat kausal; Jika dibandingkan dengan penelitian eksperimental, penelitian korelasional itu kurang tertib- ketat, karena kurang melakukan kontrol terhadap variabel-variabel bebas; Pola saling hubungan itu sering tak menentu dan kabur; ering merangsang penggunaannya sebagai semacam short-gun approach, yaitu memasukkan berbagai data tanpa pilih-pilih dan menggunakan setiap interpretasi yang berguna atau bermakna.
6. Penelitian korelasional juga mengandung kelebihan-kelebihan, antara lain: kemampuannya untuk menyelidiki hubungan antara beberapa variabel secara bersama-sama (simultan); dan Penelitian korelasional juga dapat memberikan informasi tentang derajat (kekuatan) hubungan antara variabel-variabel yang diteliti.
D. Langkah-Langkah Pokok
1. Definisikan masalah
2. Lakukan telaah pustaka
3. Rancang cara pendekatannya
4. Kumpulkan data
5. Analisis data dan buat interpretasinya
6. Susun laporan
E. Macam Penelitian Korelasional
a. Penelitian Hubungan
Penelitian hubungan, relasional, atau korelasi sederhana (seringkali hanya disebut korelasi saja) digunakan untuk menyelidiki hubungan antara hasil pengukuran terhadap dua variabel yang berbeda dalam waktu yang bersamaan. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan tingkat atau derajat hubungan antara sepasang variabel (bivariat).
Lebih lanjut, penelitian jenis ini seringkali menjadi bagian dari penelitian lain, yang dilakukan sebgai awal untuk proses penelitian lain yang kompleks. Misalnya, dalam penelitian korelasi multivariat yang meneliti hubungan beberapa variabel secara simultan pada umumnya selalu diawali dengan penelitian hbungan sederhana untuk melihat bagaimana masing-masing variabel tersebut berhubungan satu sama lain secara berpasangan.
Dalam penelitian korelasi sederhana ini hubungan antar variabel tersebut ditunjukkan oleh nilai koefisien korelasi, suatu alat statistik yang digunakan untuk membantu peneliti dalam memahami tingkat hubungan tersebut. Nilai koefisien tersebut, bervariasi dari -1,00 sampai +1,00 diperoleh dengan menggunakan teknik statistik tertentu sesuai dengan karakter dari data masing-masing variabel.
Pada dasarnya, desain penelitian hubungan ini cukup sederhana, yakni hanya dengan mengumpulkan skor dua variabel dari kelompok subjek yang sama dan kemudian menghitung koefisien korelasinya. Oleh karena itu, dalam melakukan penelitian ini, pertama-tama peneliti menentukan sepasang variabel yang akan diselidiki tingkat hubungannya. Pemilihan kedua variabel tersebut harus didasarkan pada teori, asumsi, hasil penelitian yang mendahului, atau pengalaman bahwa keduanya sangat mungkin berhubungan.
b. Penelitian Prediktif
Dalam pelaksanaan di bidang pendidikan, banyak situasi yang menghendaki dilakukannya prediksi atau peramalan. Pada awal tahun ajaran baru, misalnya, setiap sekolah karena keterbatasan fasilitas, seringkali harus menyeleksi para pendaftar yang akan diterima menjadi calon siswa baru.
Penelitian korelasi jenis ini memfokuskan pada pengukuran terhadap satu variabel atau lebih yang dapat dipakai untuk memprediksi atau meramal kejadian di masa yang akan datang atau variabel lain (Borg & Gall dalam Hadjar; 1999:285). Penelitian ini sebagaimana penelitian relasional, melibatkan penghitungan korelasi antara suatu pola tingkah laku yang kompleks, yakni variabel yang menjadi sasaran prediksi atau yang diramalkan kejadiannya (disebut kriteria), dan variabel lain yang diperkirakan berhubungan dengan kriteria, yakni variabel yang dipakai untuk memprediksi (disebut prediktor). Teknik yang digunakan untuk mengetahui tingkat prediksi antara kedua variabel tersebut adalah teknik analisis regresi yang menghasilkan nilai koefisien regresi, yang dilambangkan dengan R.
Perbedaan yang uama antara penelitian relasional dan penelitian jenis in terletak pada asumsi yang mendasari hubungan antar variabel yang diteliti. Dalam penelitian relasional, peneliti berasumsi bahwa hubungan an tar kedua variabel terjadi secara dua arah atau dengan kata lain, ia hanya ingi menyelidiki apakah kedua variabel mempunyai hbungan, tanpa mempunyai anggapan bahwa variabel yang muncul lebih awal dari yang lain. Oleh karena itu, kedua variabel biasanya diukur dalam waktu yang bersamaan. Sedang dalam penelitian prediktif, di samping ingin menyelidiki hubungan antara dua variabel, peneliti juga mempunyai anggapan bahwa salah satu variabel muncul lebh dahulu dari yang lain, atau hubungan satu arah. Oleh karena itu, tidak seperti penelitian relasional, kedua variabel diukur dalkam waktu yang berurutan, yakni variabel prediktor diukur sebelum variabel kriteria terjadi, dan tidak dapat sebaliknya.
c. Korelasi Multivariat
Teknik untuk mengukur dan menyelidiki tingkat hubungan antara kombinasi dari tiga variabel atau lebih disebut teknik korelasi multivariat. Ada beberapa teknik yang dapat digunakan, dua diantaranya yang akan dibahas di sini adalah: regresi ganda atau multiple regresion dan korelasi kanonik.
Regresi ganda. Memprediksi suatu fenomena yang kompleks hanya dengan menggunakan stu faktor (variabel prediktor) seringkali hanya memberikan hasilyang kurang akurat. Dalam banyak hal, semakin banyak informasi yang diperoleh semakin akurat prediksi yang dapat dibuat (Mc Millan & Schumaker dalam Hadjar; 1999:288), yakni dengan menggunakan kombinasi dua atau lebih variabel prediktor, prediksi terhadap variabel kriteria akan lebih akurat dibanding dengan hanyamenggunakan masing-masing variabel prediktorsecara sendiri-sendiri. Dengan demikian, penambahan jumlah prediktor akan meningkatkan akurasi prediksi kriteria.
Korelasi kanonik. Pada dasarrnya teknik ini sama dengan regresi ganda, dimana beberapa variabel dikombinasikan untuk memprediksi variabel kriteria. Akan tetapi,tidak seperti regresi ganda yang hanya melibatkan satu variabel kriteria, korelasi kanonik melibatkan lebih dari satu variabel kriteria. Korelasi ini berguna untuk menjawab pertanyaan, bagaimana serangkaian variabel prediktor memprediksi serangkai variabel kriteria?. Dengan demikian, korelasi kanonik ini dapatdianggap sebagai perluasan dari regresi ganda,dan sebaliknya, regresi berganda dapat dianggap sebagai bagian dari korelasi kanonik (Pedhazur dalam Hadjar; 1999:289).
Seringkali korelasi ini digunakan dalam penelitian eksplorasi yang bertujuan untuk meentukan apakah sejumlah variabel.mempunyai hubungan satu sama lain yang serupa atau berbeda.
F. Desain Dasar Penelitian Korelasional
Pada dasarnya penelitian korelasioanal, baik relasional, prediktif, maupun multivariat, melibatkan perhitungan korelasii antara variabel yang kompleks (variabel kriteria) dengan variabel lain yang dianggap mempuyai hubungan (variabel prediktor). Untuk menguji hubungan tersebut, desain atau langkah-langkah yag ditempuh untuk penelitian relasional dan prediksi sama meskipun detail masing-masing langkah untuk keduanya berbeda, terutama dalam pengumpulan dan analsis data. Langkah-langkah tesebut, yang paling pokok, adalah: penentuan masalah, penentuan subjek, pengumpulan data, dan analisis data.
a. Penentuan masalah
Sebagaimana dalam setiap penelitian, langkah awal yang harus dilakukan peneliti adalahmenentukan masalah penelitian yang akan menjadi fokus studinya. Dalam penelitian korelasional, masalah yang dipilih harus mempunyai nilai yang berarti dalam pola perilaku fenomena yang kompleks yang memrlukan pemahaman. Disamping itu, variabel yang dimasukkan dalam penelitian harus didasarkan pada pertimbangan, baik secara teoritis maupun nalar, bahwa variabel tersebut mempunyai hubungan tertentu. Hal ini biasanya dapat diperoleh berdasarkan hasil penelitian yang terdahulu atau terdahulu.
b. Penentuan subyek
Subyek yang dilibatkan dalam penelitian ini harus dapat diukur dalam variabel-variabel yang menjadi fokus penelitian. Subyek tersebut harus relatif homogen dalam faktor-faktor di luar variabel yang diteliti yang mungkin dapat mempengaruhi variabel terikat. Bila subyek yang dilibatkan mempunyai perbedaan yang berarti dalam faktor-faktor tersebut, korelasi antar variabel yang diteliti menjadi kabur.
Untuk mengurangi heterogenitas tersebut, peneliti dapat mengklasifikasikan subyek menjadi beberapa kelompok berdasarkan tingkat faktor tertentu dan, kemudian menguji hubungan antar variabel penelitian untuk masing-masing kelompok.
c. Pengumpulan data
Berbagai jenis instrumen dapat digunakan untuk mengukur dan mengumpulkan data masing-masing variabel, seperti angket, tes, pedoman interview dan pedoman observasi, tentunya disesuaikan dengan kebutuhan. Data yang dikumpulkan dengan instrumen-instrumen tersebut harus dalam bentuk angka. Dalam penelitian relasional, pengukuran variabel dapat dilakukan dalam waktu yang relatif sama. Sedang dalam penelitian prediktif, variabel prediktor harus diukur selang beberapa waktu sebelum variabel kriteri terjadi. Jika tidak demikian, maka prediksi terhadap kriteria tersebut tidak ada artinya.
d. Analisis data
Pada dasarnya, analisis dalam penelitian korelasional dilakukan dengan cara mengkorelasikan hasil pengukuran suatu variabel dengan hasil pengukuran variabel lain. Dalam penelitian relasional, teknik korelasi bivariat, sesuai dengan jenis datanya, digunakan untuk menghitung tingkat hubungan antara vaiabel yang satu dngan yang lain. Sedang dalam penelitian prediktif, teknik yang digunakan adalah analisis regresi untuk mengetahui tingkat kemampuan prediktif variabel prediktor terhadap variabel kriteria. Namun demikian, dapat pula digunakan analisis korelasi biasa bila hanya melibatkan dua variabel. Bila melibatkan lebih dari dua variabel, misalnya untuk menentukan apakah dua variabel prediktor atau lebih dapat digunakan untuk memprediksi variabel kriteria lebih baik daripada bila digunakan secara sendiri-sendiri, teknik analisis regresi ganda, multiple regresion atau analisis kanonik dapat digunakan. Hasil analisis tersebut biasanya dilaporkan dalam bentuk nilai koefisien korelasi atau koefisien regresi serta tingkat signifikansinya, disamping proporsi variansi yang disumbangkan oleh variabel bebas terhadap variabel terikat.



G. Rancangan penelitian korelasional
Penelitian korelasional mempunyai berbagai jenis rancangan, yaitu:
a. Korelasi Bivariat
Rancangan penelitian korelasi bivariat adalah suatu rancangan penelitian yang bertujuan untuk mendeskripsikan hubungan antara dua variabel. Hubungan antara dua variabel diukur. Hubungan tersebut mempunyai tingkatan dan arah.
Tingkat hubungan (bagaimana kuatnya hubungan) biasanya diungkapkan dalam angka antar -1,00 dan +1,00, yang dinamakan foefisien korelasi. Korelasi zero (0) mengindikasikan tidak ada hubungan. Koefisien korelasi yang bergerak ke arah -1,00 atau +1,00, merupakan korelasi sempurna pada kedua ekstrem.
Arah hubungan diindikasikan olh simbol “-“ dan “+”. Suatu korelasi negatif berarti bahwa semakin tinggi skor pada suatu variabel, semakin rendah pula skor pada variabel lain atau sebaliknya. Korelasi positif mengindikasikan bahwa semakin tinggi skor pada suatu variabel, semakin tinggi pula skor pada variabel lain atau sebaliknya.
b. Regresi dan Prediksi
Jika terdapat korelasi antara dua variabel dan kita mengetahui skor pada salah satu variabel, skor pada variabel kedua dapat diprediksikan. Regresi merujuk pada seberapa baik kita dapat membuat prediksi ini. Sebagaimana pendekatan koefisien korelasi baik -1,00 maupun +1,00, prediksi kita dapat lebih baik.

c. Regresi Jamak (Multiple Regresion)
Regresi jamak merupakan perluasan regresi dan prediksi sederhana dengan penambahan beberapa variabel. Kombinasi beberapa variabel ini memberikan lebih banyak kekuatan kepada kita untuk membuat prediksi yang akurat. Apa yang kita prediksikan disebut variabel kriteria (criterion variable). Apa yang kita gunakan untuk membuat prediksi, variabel-variabel yang sudah diketahui disebut variabel prediktor (predictor variables).
d. Analisis Faktor
Prosedur statistik ini mengidentifikasi pola variabel yang ada. Sejumlah besar variabel dikorelasikan dan terdapatnya antarkorelasi yang tinggi mengindikasikan suatu faktor penting yang umum.
e. Rancangan korelasional yang digunakan untuk menarik kesimpulan kausal
Terdapat dua rancangan yang dapat digunakan untuk membuat pernyataan-pernyataan tentang sebab dan akibat menggunakan metode korelasional. Rancangan tersebut adalah rancangan analisis jalur (path analysis design) dan rancangan panel lintas-akhir (cross-lagged panel design).
Analisis jalur digunakan untuk menentukan mana dari sejumlah jalur yang menghubungkan satu variabel dengan variabel lainnya. Sedangkan desain panel lintas akhir mengukur dua variabel pada dua titik sekaligus.

f. Analisis sistem (System Analysis)
Desain ini meibatkan penggunaan prosedur matematik yang kompleks/rumit untuk menentukan proses dinamik, seperti perubahan sepanjang waktu, jerat umpan balik serta unsur dan aliran hubungan.
H. Kesalahan dalam Penelitian Korelasional
Kesalahan-kesalahan yang kadang-kadang dilakukan oleh peneliti dalam penelitian korelasional adalah sebagai berikut:
1. Peneliti berasumsi bahwa korelasi merupakan bukti sebab akibat
2. Peneliti bertumpu pada pendekatan sekali tembak (shotgun approach)
3. Peneliti memilih statistik yang salah
4. Peneliti menggunakan analisis bivariat ketika multivariat yang lebih tepat
5. Peneliti tidak melakukan studi vasilitas silang
6. Peneliti menggunakan analisis jalur tanpa peninjauan asumsi-asumsi (teori)
7. Peneliti gagal menentukan suatu variabel kausal penting dalam perencanaan suatu analisis jalur
8. Peneliti salah tafsir terhadapsignifikansi praktis atau statistik dalam suatu studi.




BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Kesimpulan yang dapat diperoleh dari pembahasan di atas yaitu :
1. Penelitian korelasi adalah suatu penelitian yang melibatkan tindakan pengumpulan data guna menentukan, apakah ada hubungan dan tingkat hubungan antara dua variabel atau lebih.
2. Tujuan penelitian korelasional adalah untuk menentukan hubungan antara variabel, atau untuk menggunakan hubungan tersebut untuk membuat prediksi.
3. Langkah-langkah penilitian korelasional yang paling pokok, adalah: penentuan masalah, penentuan subjek, pengumpulan data, dan analisis data.



DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2010. Penelitian Korelasional Dalam http://meetabied.wordpress.com/2010/03/20/penelitian-korelasional-2/
Anonim, 2010. Dalam http://www.scribd.com/doc/23272077/Penelitian-korelasional
Suryabrata, S. 2005.Metodologi penelitian pendidikan (Kompetensi dan Praktiknya). Bumi Aksara.. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

MAKALAH BIOPER TENTANG PERSAINGAN

MAKALAH BIOPER TENTANG PERSAINGAN

I PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Dalam suatu ekosistem ada interaksi antara suatu mahluk hidup maupun interaksi mahluk hidup dengan lingkungannya. dimana posisi suatu spesies atau populasi secara relatif di dalam suatu ekosistem, menggambarkan suatu paket strategi yang bisa dipilih oleh suatu organisme atau spesies untuk tetap bertahan hidup. Dengan adanya organisme atau spesies untuk tetap bertahan hidup maka selalu ada persaingan dan pemangsaan. Persaingan.
Keanekaragaman jenis dalam suatu komunitas sangat dipengaruhi oleh hubungan fungsional pemangsaan. Pemangsaan dan persaingan saling menunjang dalam mempengaruhi kenaekaragaman spesies. Pemangsaan besar pengaruhnya terhadap keanekaragaman spesies-spesies yang dimangsa sedang fluktuasi keanekaragaman jenis pemangsa lebih banyak dipengaruhi oleh faktor persaingan. Efesiensi pemangsaan berpengaruh langsung terhadap keanekaragaman jenis dengan mempertahankan monopolisasi syarat-syarat lingkungan utama oleh suatu jenis. Sedangkan efesiensi pemangsaan dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain frekuensi makan, selera pemangsa terhadap rasa mangsa, kerapatan mangsa, kualitas makanan dan adanya inang alternatif



II. PEMBAHASAN
2.1. Interaksi Antara Organisme Dalam Ekosistem
Menrut sifatnya interaksi antara organisme dalam ekosistem terbagi dua yaitu

1. Interaksi Antara Organisme Yang Bersifat Netral (Positif)
Netralisme bukan merupakan interaksi tetapi lebih cenderung digolongkan sebagai asosiasi. Hubungan yang terbentuk tidak berpengaruh apapun pada individu yang terlibat. Komensalisme adalah bentuk interaksi antara individu yang memberikan keuntungan kepada salah satu individu jenis populasi, sementara yang lain tidak diuntungkan ataupun dirugikan.

2. Interaksi Antara Organisme Yang Bersifat Negatif
Terdapat 4 macam interaksi yang bersifat negatif, yaitu: persaingan terdiri dari dua macam, yaitu persaingan antar jenis berbeda (interspesifik) dan persaingan antar jenis yang sama (intraspesifik), amensalisme, parasitisme (inang parasit) dan pemangsaan (mangsa pemangsa)

a. persaingan
Persaingan adalah perebutan antara 2/lebih organisme untuk sesuatu yang sama. persaingan terdiri dari dua macam, yaitu persaingan antarjenis berbeda (interspesifik) dan persaingan antar jenis yang sama (intraspesifik), Persaingan antarjenis berbeda (interspesies) adalah persaingan antara dua atau lebih individu dari jenis berbeda yang bersaing untuk kepentingan pertumbuhan dan kehidupannya masing-masing. Sedangkan persaingan intraspesifik yaitu jika individu-individu yang bersaing berasal dari jenis-jenis yang sama atau individu-individu di dalam satu jenis populasi.




Persaingan terhadap berbagai sumber tidak akan terjadi bila saja sumber-sumber tersebut cukup banyak dan persediaannya cukup untuk seluruh spesies atau individu

b. Amensalisme
Amensalime merupakan bentuk hubungan antara individu-individu di mana populasi yang satu dirugikan (meskipun sesaat) sementara organisme populasi lain tidak dirugikan ataupun diuntungkan (netral). Amensalisme merupakan persaingan dalam bentuk-bentuk yang lemah. Contoh interaksi amensalisme adalah peristiwa alelopati. Parasitisme merupakan proses interaksi antara dua jenis populasi di mana satu jenis mendapat keuntungan dalam hal ini disebut parasit, sementara populasi yang lain menderita kerugian, dalam hal ini disebut inang (host).



c. Pemangsaan
Pemangsaan termasuk interaksi populasi yang antagonis yaitu interaksi antara 2 organisme di mana jenis populasi yang satu memakan yang lain. Populasi pemangsa disebut pemangsa (predator), sementara populasi yang dimangsa disebut mangsa. Dalam rangkaian energi, yang termasuk ke dalam pemangsa adalah karnivora, herbivora atau pun omnivora. Pemangsaan Juga terdiri dari intraspesifik dan interspesifik.

MAKALAH : FAKTOR-FALTOR YANG MEMPENGARUHI WILAYAH PESISIR DAN PERMASALAHANYA

MAKALAH :
FAKTOR-FALTOR YANG MEMPENGARUHI WILAYAH PESISIR DAN PERMASALAHANYA











PROGRAM STUDI MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN
FAKLUTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS
KENDARI
2010

I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Wilayah pesisir, laut dan pulau-pulau kecil merupakan kawasan yang sangat berpotensi terjadinya bencana. Bencana yang paling banyak kita temui adalah kerusakan akibat gempa bumi, tsunami, kekeringan (kekurangan air tawar), kelaparan, penyakit, dan pengaruh ikutan yang terjadi akibat bencana alam seperti ledakan gunung berapi.
Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran
Secara umum kerusakan yang terjadi tidak sedikit. Disamping kerusakan bangunan fisik, ekosistem pesisir pun rusak berat. Masalah erosi, sedimentasi dan abrasi pun dirasakan sangat mengganggu aktivitas pengembangan dan pemanfaatan wilayah pesisir. Misalnya, hilangnya penyangga pantai, yaitu hutan mangrove. Dilain pihak, pengembangan dan pemanfaatan yang dilakukan, misalnya dengan adanya konversi lahan hutan bakau menjadi tambak tanpa pertimbangan yang memadai pada gilirannya akan memicu laju erosi, sedimentasi dan abrasi secara tak terkendali.

1.2. Tujuan dan Manfaat

Tujuan dari pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi wilayah pesisir dan permasalahannya sehingga dengan mengatahui hal-hal tersebut dapat diketahui bahwa jika lingkungan tidak dikelola secara baik akan menurunkan kualitas dan kuantitas sumberdaya yang terdapat di wilayah pesisir. Bahkan akan terjadi kerusakan-kerusakan pada ekosistem tersebut



II. PEMBAHASAN
Wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran
Definisi wilayah pesisir tersebut di atas secara umum memberikan gambaran besar, betapa kompleksitas aktivitas ekonomi dan ekologi terjadi di wilayah ini. Kompleksitas aktivitas ekonomi seperti perikanan, pariwisata, pemukiman, perhubungan, dan sebagainya memberikan tekanan yang cukup besar terhadap keberlanjutan ekologi wilayah pesisir seperti ekosistem mangrove, padang lamun dan terumbu karang. Tekanan yang demikian besar tersebut jika tidak dikelola secara baik akan menurunkan kualitas dan kuantitas sumberdaya yang terdapat di wilayah pesisir. Bahkan akan terjadi kerusakan-kerusakan pada ekosistem tersebut sehingga menimbulkan permasalahan-permasalahan baru yang dapat merugikan seluruh mahluk hidup yang berada di wilayah pesisir.

2.1. Permasalahan
Beberapa permasalahan yang terkait dengan upaya pentingnya mitigasi akibat proses dinamika wilayah pesisir adalah faktor alam, kegiatan manusia dan kombinasi
keduanya menurut Ongkosongo (2004) adalah:
1. Penataan ruang tidak berbasis kesesuain lahan
2. Kepemilikan lahan yang tidak diatur dengan baik
3. Penurunan kuantitas dan kualitas sumberdaya mineral, energy dan sumberdaya air
4. Penurunan kualitas dan kemusnahan potensi atau cadangan keanekaragaman sumberdaya hayati (ekosistem di wilayah pantai).
5. Penurunan kesehatan lingkungan
6. Bencana alam
7. Permasalahan lain terkait (perubahan iklim, pemanasan global)
Beberapa permasalahan diatas merupakan bagian dari permasalahan kunci dari kerusakan dan degradasi ekosistem, sumberdaya, biofisik kawasan pesisir dan laut. Kerusakan yang terjadi saat ini di wilayah pesisir berupa pencemaran, banjir pasang, badai, tsunami, angin dan banjir dari hulu. Beberapa bentuk kerusakan yang kemudian di kategorikan sebagai bencana di wilayah pesisir
1. Pencemaran
2. Kerusakan Hutan Bakau (Mangrove)
3. Kerusakan Terumbu Karang dan Lamun
4. Abrasi
5. Perubahan Tata Guna Lahan
6. Algae Blooming
7. Kematian Ikan

Diantara penyebab kerusakan tersebut adalah:
1. Penebangan hutan mangrove.
2. Pengeboman ikan di sekitar karang.
3. Buangan limbah di kawasan perairan
4. Pembangunan yang menyebabkan degradasi lingkungan
5. Bencana alam

2.2. Dimensi Ekologis Lingkungan Pesisir
Secara prinsip ekosistem pesisir mempunyai 4 fungsi pokok bagi kehidupan manusia, yaitu: sebagai penyedia sumberdaya alam, penerima limbah, penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan, dan penyedia jasa-jasa kenyamanan. Sebagai suatu ekosistem, perairan pesisir menyediakan sumberdaya alam yang produktif baik yang dapat dikonsumsi langsung maupun tidak langsung, seperti sumberdaya alam hayati yang dapat pulih (di antaranya sumberdaya perikanan, terumbu karang dan rumput laut), dan sumberdaya alam nir-hayati yang tidak dapat pulih (di antaranya sumberdaya mineral, minyak bumi dan gas alam). Sebagai penyedia sumberdaya alam yang produktif, pemanfaatan sumberdaya perairan pesisir yang dapat pulih harus dilakukan dengan tepat agar tidak melebihi kemampuannya untuk memulihkan diri pada periode waktu tertentu. Demikian pula diperlukan kecermatan pemanfaatan sumberdaya perairan pesisir yang tidak dapat pulih, sehingga efeknya tidak merusak lingkungan sekitarnya. Disamping sumberdaya alam yang produktif, ekosistem pesisir merupakan penyedia jasa jasa pendukung kehidupan, seperti air bersih dan ruang yang diperlukan bagi berkiprahnya segenap kegiatan manusia. Sebagai penyedia jasa-jasa kenyamanan, ekosistem pesisir merupakan lokasi yang indah dan menyejukkan untuk dijadikan tempat rekreasi atau pariwisata.
Ekosistem pesisir juga merupakan tempat penampung limbah yang dihasilkan dari kegiatan manusia. Sebagai tempat penampung limbah, ekosistem ini memiliki kemampuan terbatas yang sangat tergantung pada volume dan jenis limbah yang masuk. Apabila limbah tersebut melampaui kemampuan asimilasi perairan pesisir, maka kerusakan ekosistem dalam bentuk pencemaran akan terjadi. Dari keempat fungsi tersebut di atas, kemampuan ekosistem pesisir sebagai penyedia jasajasa pendukung kehidupan dan penyedia kenyamanan, sangat tergantung dari dua kemampuan lainnya, yaitu sebagai penyedia sumberdaya alam dan penampung limbah. Dari sini terlihat bahwa jika dua kemampuan yang disebut terakhir tidak dirusak oleh kegiatan manusia, maka fungsi ekosistem pesisir sebagai pendukung kehidupan manusia dan penyedia kenyamanan diharapkan dapat dipertahankan dan tetap lestari.


III. PENUTUP
Secara prinsip ekosistem pesisir mempunyai fungsi pokok bagi kehidupan manusia, yaitu: sebagai penyedia sumberdaya alam, penerima limbah, penyedia jasa-jasa pendukung kehidupan, dan penyedia jasa-jasa kenyamanan. Sebagai suatu ekosistem, perairan pesisir menyediakan sumberdaya alam yang produktif baik yang dapat dikonsumsi langsung maupun tidak langsung. Dari urairan diatas bahwa ekositem pesisir sangat penting bagi kehidupan manusia, maka dari itulah kita harus menjaga, memperhatikan, serta melindungi wilayah pesisir sebaik mungkin 
DAFTAR PUSTAKA
Ongkosongo, O, 2004. Perubahan Lingkungan di Wilayah Pesisir. Stuktur Fisik dan
Dinamik Pesisir. Makalah Workshop: Deteksi, Mitigasi dan Pencegahan
Degradasi Lingkungan Pesisir dan Laut Indonesia.

BAGAIMANA PENERAPAN KONSEP KONSERVASI SUMBERDAYA HAYATI PERAIRAN

BAGAIMANA PENERAPAN KONSEP KONSERVASI SUMBERDAYA HAYATI PERAIRAN

konservasi selalu berhubungan dengan suatu kawasan, kawasan itu sendiri mempunyai pengertian yakni wilayah dengan fungsi utama lindung atau budidaya, apabila suatu kawasan tidak terpelihara maka akan terjadi kerusakan dan kemusnahan. Agar tidak terjadi kerusakan kawasan yang ditetapkan dengan fungsi utama melindungi kelestarian lingkungan hidup yang mencakup sumber daya alam, sumber daya buatan, dan nilai sejarah serta budaya bangsa guna kepentingan pembangunan berkelanjutan, maka perlu dilakukan bagaimana penerapan konsep sumberdaya hayati perairan,

Strategi Konservasi Dunia kegiatan konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya meliputi kegiatan:
a. Perlindungan proses-proses ekologis yang penting atau pokok dalam sistem-sistem penyangga kehidupan.
b. Pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya.
c. Pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya.

Pembinaan Daerah Pantai
Program Pembinaan Daerah Pantai ditujukan untuk mening¬katkan kemampuan masyarakat pantai dalam memanfaatkan sumber daya laut dan sekaligus melestarikan fungsi ekosistem pantai dan pesisir.
Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup
Program Pengendalian Pencemaran Lingkungan Hidup bertu¬juan untuk mengendalikan penurunan mutu lingkungan hidup. Dan dikembangkan berbagai kegiatan yang menun¬jang terlaksananya program tersebut yang meliputi kegiatan pengendalian pencemaran, pengembangan fasilitas pembuangan limbah, penguasaan teknologi bersih lingkungan, penggunaan bahan baku tidak beracun, pengembangan teknologi daur ulang, peningkatan peran serta masyarakat, pengembangan keahlian dan sarana serta prasarana pengendali pencemaran, pemantauan pencemaran lingkungan hidup, penegakan hukum dan rehabilitasi kerusakan lingkungan, serta pengembangan sistem informasi dalam pengendalian pencemaran.
Rehabilitasi Hutan dan Tanah Kritis
Program Rehabilitasi Hutan dan Tanah Kritis bertujuan untuk meningkatkan kembali kemampuan daerah aliran sungai (DAS), hutan dan tanah yang telah rusak sehingga fungsi produksi dan kelestarian fungsi lingkungan hidup dalam DAS dapat meningkat lagi. Upaya tersebut mencakup penghijauan dan konservasi tanah, reboisasi, rehabilitasi hutan produksi yang rusak dan bermutu rendah, dan pengendalian peladang berpindah.